Jadi rupanya tema kita sekarang sudah beralih. Dari revolusi menjadi sekedar reformasi. Dari penegakkan syariatisasi menuju demokrasi. Kesimpulan ini saya ambil dari himbauan Hillary Clinton yang menyatakan sekutu Amerika itu hendaknya segera melakukan transisi ke pemerintahan yang menghamba antara satu manusia ke manusia lainnya. “Amerika tentunya ingin melihat orang-orang yang berkomitmen terhadap demokrasi. Tanpa bermaksud menentang ideologi orang Mesir,” paparnya.
Fitnah Demokrasi Di Mesir
Jauh sebelum isu demokrasi Mesir digulirkan Gedung Putih, Amerika sudah cukup massif menggalang pemikiran jika suatu ketika rezim diktatorisme Hosni Mubarak segera diakhiri. Setting-an kehancuran Mesir bukan dipersiapkan satu-dua hari ini. Amerika sudah mengalokasikan waktu cukup lama dalam memuluskan misinya. Mereka menilai Rezim Mubarak sudah tidak lagi kondusif untuk memegang tampuk kebonekaan.
Amerika sebenarnya sudah demikian cantik menyusun agenda ini dalam rangka merubah wajah Mesir menjadi negara demokrasi. Salah satu lembaga yang aktif menyebarkan isu-isu demokrasi di Mesir adalah Freedom House. Freedom House sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba terkemuka dalam sejarah Amerika. Ia berpusat di Washington, D.C. dengan daftar kantor cabang membentang dari Eropa, Afrika, hingga Asia. Sejarah Freedom House berawal ketika Wendell Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson, Herbert Bayard Swope bersatu untuk menentang paham Nazi. Pada tahun 1940-an, Freedom House kemudian mendukung Marshall Plan dan pendirian NATO yang kini tercatat sebagai salah satu keuatan kuat zionis dalam mencengkaram dunia. Sejarah kemudian terus bergulir hingga pada durasi 1950-1960-an mereka terlibat akfif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia di AS.
Kini Freedom House dibiayai oleh berbagai yayasan. Di antara nama-nama itu terselip sederetan lembaga seperti Lynde and Harry Bradley Foundation, Sarah Scaife Foundation, dan Soros Foundation. Selain itu mereka juga mendapat uang dari pemerintah AS melalui berbagai lini pemerintahan seperti USAID dan State Department.
Selain nama Freedom House, nama lain yang menjadi penggerak demokratisasi di Mesir adalah National Endowment For Democracy (NED). NED sendiri adalah sebuah yayasan swasta nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. NED berfungsi untuk memberikan hibah dalam rangka mendukung proyek-proyek LSM di seluruh dunia untuk pertumbuhan dan penguatan lembaga-lembaga demokratis. Yayasan ini didirikan pada tahun 1983 dan menyediakan lebih dari 1000 dana bantuan per tahun untuk LSM dalam rangka mempromosikan demokrasi di lebih dari 90 negara. Tidak hanya itu, NED juga tercatat aktif dalam menawarkan beasiswa dan melakukan penelitian dan pertukaran internasional bagi para aktivis demokrasi, hak asasi manusia advokat, jurnalis, dosen dan peneliti.
NED Mesir terkenal sangat massif dalam menggelontorkan dana untuk memperkuat pemahaman pemuda parlemen Mesir dan meningkatkan penggunaan aktivis regional dengan berbagai teknologi baru sebagai alat akuntabilitas. Melalui lembaga kecilnya, Andalus Institute for Tolerance and Anti-Violence Studies (AITAS), mereka melakukan serangkaian lokakarya bagi 300 mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran terhadap fungsi parlemen dan melibatkan mereka dalam pemantauan komite parlemen. AITAS juga menjadi tuan rumah magang selama delapan bulan yang diperuntukan aktivis pemuda dari berbagai belahan Timur Tengah dan Afrika Utara. Para pemuda ini dirangsang mempromosikan Demokrasi Mesir dengan menggunakan teknologi berbasis web dalam melancarkan misi Amerika. Hal ini kemudian teretas dengan kucuran dana bagi para blogger di berbagai Negara muslim, khususnya Timur Tengah.
Sedangkan untuk meningkatkan kesadaran hukum di kalangan wartawan tentang kebebasan berekspresi di bawah hukum Mesir dan mendorong lebih besar peliputan media informasi isu-isu hak asasi manusia, NED Mesir melalui Arab Society for Human Rights (ASHR) tercatat banyak melakukan serangkaian lokakarya hukum media dan hak-hak profesional media. Kegiatan ini mensasar sekitar 80 jurnalis dari berbagai kalangan diantaranya governorates of Giza, Port Said, Sohag, Ismailiya, Al-Sharkiya, Kafr Al Syaikh, dan Marsa Matrouh.
Kenapa Amerika Ingin Menjatuhkan Sekutunya Sendiri?
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Amerika yang notabene selama ini mendukung rezim Mubarak justru ingin menjatuhkan kawannya sendiri? Lalu mengapa pula Amerika sangat keukeuh menjadikan Mesir sebagai basis kekuatan penting di wilayah Afrika dan dunia Islam pada khususnya? Ada beberapa hal yang bisa kita petakan melihat bagaimana peran Amerika Serikat dalam meredakan konflik di Mesir dan prosesi kelanjutan intervensinya.
Pertama, kepentingan ekonomi dan deideologi faksi-faksi Islam. Saat ditanya Associated Press apakah langkah-langkah yang diambil Presiden Hosni Mubarak sudah benar, Menlu AS Hillary Clinton menyatakan bahwa tidak penting saat ini siapa yang berkuasa di Mesir. Menurut istri Bill Clinton ini, yang lebih penting dibutuhkan saat ini adalah bagaimana tuntutan dan kebutuhan rakyat Mesir bisa dipenuhi dan menuju satu tahapan lebih baik. "Jelas, tahapan yang diikuti saat ini belum menciptakan masa depan yang demokratis, kesempatan ekonomi yang dituntut para pemrotes," ujarnya.
Pemerintah Amerika Serikat berharap transisi politik dengan memberi ruang bagi demokrasi di Mesir bisa berjalan mulus. Hal ini didasarkan pada gejolak di negara tersebut akan mengancam stabilitas di wilayah Timur Tengah yang tengah diupayakan terus oleh Presiden Barack Obama menjadi bagian dari demokratisasi Amerika. Kenapa Mesir yang dipilih tidak lain karena Negara di utara Afrika ini dinilai sebagai negara yang penting di Timur Tengah dimana ia berbatasan langsung dengan Palestina sekaligus pusat intelektual Islam di wilayah Timur Tengan. Dua domain inilah yang menjadi keladi bagaimana Amerika harus membiayai Mubarok selama ini agar jalannya penguasaan ekonomi dan deideologisasi Timur tengah berjalan sesuai harapan.
Kedua, Amerika memang benci dengan kekuasaan yang terlalu gemuk walau ia tidak mampu memungkiri bahwa diktatorisme memang tujuan dari segalanya. Kesenjangan sosial yang terjadi di Mesir akan membahayakan stabilitas misi mereka. Bagaimanapun landing-nya pesawat tidak boleh terganggu. Dan Amerika sudah tahu inilah batas kesabaran mereka melihat bonekanya tidak dapat memenuhi keinginan tuannya. Zaynur Ridwan, penulis beberapa novel zionisme memberikan alasan tentang mengapa Amerika sangat membenci pemerintahan yang korup? Tentu saja berbeda motif dengan apa yang kita pahami. Amerika beranggapan Korupsi akan memperkuat kekuatan Islam di akar rumput karena efek kesenjangan sosial, dan ini menurut Robert Heffner, peneliti Islam Amerika, akan membangkitkan semangat persaudaraan Islam yang akan berorientasi pada jihad global. Karena itu pemerintah yang korup harus dijatuhkan khususnya di daerah strategis Timur Tengah karena rencana demokratisasi Timur Tengah adalah salah satu program yang dijanjikan pemerintahan Obama saat berkampanye.
Ketiga, yang mesti menjadi perhatian kita adalah kita harus ingat bahwa Amerika akan terus bergerak di manapun level oposisi bermain. Amerika dan Paman-nya Israel akan selalu berupaya mendekati kekuatan baru. Pada intinya ini dilakukan agar disparitas kepentingan antara calon wayang dan calon dalang tidak terlalu jauh.Ini penting karena kekuasaan adalah gestur. Tidak ada kata musuh abadi.
Seperti diberitakan arabnews.com, bahwa Duta Besar Amerika Serikat untuk Mesir, Margaret Scobey, telah berbincang dengan Mohamed El Baradei. Baradei sendiri digadang-gadangkan akan menjadi sebuah kekuatan baru dalam menerima mandat Amerika Serikat selanjutnya setelah Hosni Mubarak akan turun dalam tempo tidak lama lagi. Padahal kita tahu sendiri bahwa El Baradei bukanlah nama baru dalam dunia perbonekaan Amerika Serikat. Ilmuwan berkepala plontos ini banyak bergelut dalam dunia energi di PBB.
Skenario Al Baradei dan Konstruk Zionis
Oleh karena itu kita harus jeli melihat perkembangan politik di Mesir. Kita sekarang sedang berhadapan dengan musuh dalam arti sebenarnya, dan bukan metafor. Kita berada dalam kotak pandora dimana media menyuguhkan bahwa tumbangnya Mesir adalah keniscayaan bagi perkembangan demokrasi di Negeri Nabi Musa ini. Kita sekarang sudah beralih dengan lebih sering memakai lema tuntutan rakyat ketimbang tuntunan Allah. Kita akhirnya terjebak pada keringat yang ingin segera kering lalu kemudian akan merubuhkan kembali istana pasir yang kita bangun dalam tempo satu-dua malam itu (baca: singkat). Artinya demokratisasi akan menjadi alternatif pasca keruntuhan rezim Mubarok
El Baradei, nama itu. Nama itu menjadi lengkap jika kita mengenalnya sebagai Mohamed El Baradei calon pengganti Hosni Mubarok (tanpa harus menyinggung keinginan Omar Sulaiman yang memiliki niat yang mutlak serupa). Menariknya nama El Baradei selama ini tidak begitu dikenal oleh warga Mesir sendiri. Time.com pada 20 Februari 2010 menulis warga Mesir tidak peduli dengan El Baradei. Mohamed Abbas (25), seorang sopir taksi di Mesir mengaku tidak kenal El Baradei. Bagi Abbas, El Baradei hanyalah seorang calon presiden seperti halnya Muhamad Gamal Mubarak, anak Hosni Mubarak dan Ketua Liga Arab Amr Musa. "Kebanyakan dari mereka, bagaimana pun, adalah penjahat," kata Mohamed Abbas.
Alhasil berbagai kalangan menyatakan bahwa Nama ini amat mungkin mencuat sebagaimana media-media Mesir, Eropa, dan Amerika mengkonstruk El Baradei sebagai Sang Penyelamat hanya karena ia mendapat sebuah nobel perdamaian dan berduyun-duyun bersama rakyat berteriak, “Kami anti Mubarak.”
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seorang El Baradei bisa muncul dengan legitimasi kepahlawanan yang begitu kuat. Baiklah kita faham ia memang anti Bush. Namun kita belum faham apakah ia juga anti syariat Islam. Apakah kita faham apakah ia anti jihad, mengingat “dasi dan bajunya” dibelikan oleh George Soros. Saya hanya ingin khawatir tidak lebih ketika melihat El Baradei menduduki posisi di International Crisis Group, sebuah lembaga think-thank perdamaian dunia (baca: versi humanisme) yang kental berafiliasi dengan George Soros. Lalu bagaimana mungkin seorang yang jelas-jelas tidak memiliki visi Islam yang kuat begitu disokong oleh organisasi muslim terbesar di Mesir. Mengingat selama aktivitasnya di ICG, El Baradei banyak berkecimpung dalam pereduksian ideologi Islam di Negara timur tengah.
Belajar dari Kematian Sayyid Quthb
Akhirnya penulis melihat bahwa transisi politik Mesir menuju demokrasi akan menciptakan Irak baru, Pakistan Baru, dan Afghanistan baru di Mesir. Kita memang setuju dan sangat mendukung jatuhnya Rezim Mubarak. Namun kita jangan sampai lupa bahwa kita berada pada fase yang bisa jadi membuat Mesir berubah menjadi lautan merah setelah Irak, Somalia, Afghanistan dan Sudan hancur bukan main.
Inilah yang terjadi ketika Presiden Gamal Abdul Nasser menjadi pemimpin baru setelah Rezim Raja Fuad tumbang. Sejarah ini tidak bisa kita lupakan bagaimana ribuan mujahid dibumihanguskan secara tidak berperikemanusaain. Mereka digantung dengan tuduhan tidak jelas. Padahal sebelum Rezim Fuad jatuh, ada janji manis dari sang calon pengganti tentang perkembangan Islam di Mesir oleh sang presiden.
Adalah Sayyid Quthb dan beberapa akttivis ikhwan yang amat baik telah memberikan pelajaran bagi kita bahwa stratergi kaum kufar mengahalangi tegaknya Islam adalah tantang dakwah tersendiri. Beberapa hari setelah revolusi itu Sayyid Quthb dipersilahkan untuk memberikan pidato di tengah masa. Sayyid Quthb dengan lantang berkata, “Sekarang revolusi betul-betul telah dimulai. Akan tetapi, kita tidak boleh menyanjung-nyanjungnya, sebab dia belum memberikan sesuatu yang berarti. Diturunkannya Raja Fuad bukanlah tujuan revolusi ini. Akan tetapi tujuannya adalah mengembalikkan negeri ini kepada Islam.”
Saat itu Gammal Abdul Nasser membalas, “Wahai Saudaraku Sayyid Quthb demi Allah mereka tidak akan bisa mengganggumu kecuali harus melewati mayat kami. Kami berikan janji kami dengan nama Allah. Bahkan kami ulangi janji kami, bahwa kami akan menjadi pembela-belamu hingga kahir hayat kami”.
Lalu apa yang terjadi setelah itu? Janji tinggal janji, Nasser yang begitu tergila-gila dengan sosialisme dan sangat takut pada penerapan Islam secara kaffah malah menuduh Sayyid Quthb akan membahayakan keamanan Mesir dan membunuh dirinya.
Sayyid Quthub kemudian diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April 1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya, Ma'alim fi ath-thariq, di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid Quthub bersama Abdul Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan dihukum mati. Ia dihukum gantung bersama 2 orang temannya pada 29 Agustus 1966. Pemerintah Mesir tidak menghiraukan protes dari Amnesti Internasional yang memandang proses peradilan militer terhadap Sayyid Quthub sama sekali bertentangan dengan rasa keadilan. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Syahid bagi kebangkitan Islam, yang rela mengorbankan nyawanya di tiang gantungan.
Pidato dan kisah kematian Sayyid Quthb di atas adalah sebuah otokritik dalam diri bahwa transisi politik dari sebuah rezim bukanlah kata akhir perjuangan. Transisi politik bisa berubah dalam meretaskan idiom bahwa kawan menjadi lawan, namun belum tentu sebaliknya. Tentu penulis bukan dalam kapasitas melunturkan semangat kita, bagaimanapun perjuangan terus kita lakukan. Tapi kita harus hati-hati untuk mengerti betul dalam menjawab satu pertanyaan saja, yakni siapakah yang akan berkuasa di Mesir setelah Mubarok jatuh, dan tak lama kemudian ideologi yang membuat Afghanistan, Pakistan, dan Sudan hancur (baca: demokrasi) naik?
"Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu. Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Muslim, No. 4822)
Allahua’lam.(www.eramuslim.com)
No comments:
Post a Comment