Saturday, February 26, 2011

Manfaatkan teknology untuk umat..

ilmuana: al-Quran & Muqaddam Pen Reader with Malay translat...: "Sedang menimbangkan nama alat ini sebagai Ilmuana...kerana fungsinya yang boleh membantu kepada input ilmu kepada umat islam yang mas..."

al-Quran & Muqaddam Pen Reader with Malay translation








Sedang menimbangkan nama alat ini sebagai Ilmuana...kerana fungsinya yang boleh membantu kepada input ilmu kepada umat islam yang masih di peringkat asas..membantu untuk membaca,memahami ayat2 dan doa2 yang terdapat dalam sessi bahasa arab atau lebih dikenali sebagai Muqaddam...maklumat lanjut 0162718105(zamri)

Sunday, February 06, 2011

Mengungkap Fitnah AS Dalam Menumbangkan Mesir: ElBaradei, Demokratisasi, dan Pelajaran dari Kematian Sayyid Qutb

Jadi rupanya tema kita sekarang sudah beralih. Dari revolusi menjadi sekedar reformasi. Dari penegakkan syariatisasi menuju demokrasi. Kesimpulan ini saya ambil dari himbauan Hillary Clinton yang menyatakan sekutu Amerika itu hendaknya segera melakukan transisi ke pemerintahan yang menghamba antara satu manusia ke manusia lainnya. “Amerika tentunya ingin melihat orang-orang yang berkomitmen terhadap demokrasi. Tanpa bermaksud menentang ideologi orang Mesir,” paparnya.

Fitnah Demokrasi Di Mesir

Jauh sebelum isu demokrasi Mesir digulirkan Gedung Putih, Amerika sudah cukup massif menggalang pemikiran jika suatu ketika rezim diktatorisme Hosni Mubarak segera diakhiri. Setting-an kehancuran Mesir bukan dipersiapkan satu-dua hari ini. Amerika sudah mengalokasikan waktu cukup lama dalam memuluskan misinya. Mereka menilai Rezim Mubarak sudah tidak lagi kondusif untuk memegang tampuk kebonekaan.

Amerika sebenarnya sudah demikian cantik menyusun agenda ini dalam rangka merubah wajah Mesir menjadi negara demokrasi. Salah satu lembaga yang aktif menyebarkan isu-isu demokrasi di Mesir adalah Freedom House. Freedom House sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba terkemuka dalam sejarah Amerika. Ia berpusat di Washington, D.C. dengan daftar kantor cabang membentang dari Eropa, Afrika, hingga Asia. Sejarah Freedom House berawal ketika Wendell Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson, Herbert Bayard Swope bersatu untuk menentang paham Nazi. Pada tahun 1940-an, Freedom House kemudian mendukung Marshall Plan dan pendirian NATO yang kini tercatat sebagai salah satu keuatan kuat zionis dalam mencengkaram dunia. Sejarah kemudian terus bergulir hingga pada durasi 1950-1960-an mereka terlibat akfif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia di AS.

Kini Freedom House dibiayai oleh berbagai yayasan. Di antara nama-nama itu terselip sederetan lembaga seperti Lynde and Harry Bradley Foundation, Sarah Scaife Foundation, dan Soros Foundation. Selain itu mereka juga mendapat uang dari pemerintah AS melalui berbagai lini pemerintahan seperti USAID dan State Department.

Selain nama Freedom House, nama lain yang menjadi penggerak demokratisasi di Mesir adalah National Endowment For Democracy (NED). NED sendiri adalah sebuah yayasan swasta nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. NED berfungsi untuk memberikan hibah dalam rangka mendukung proyek-proyek LSM di seluruh dunia untuk pertumbuhan dan penguatan lembaga-lembaga demokratis. Yayasan ini didirikan pada tahun 1983 dan menyediakan lebih dari 1000 dana bantuan per tahun untuk LSM dalam rangka mempromosikan demokrasi di lebih dari 90 negara. Tidak hanya itu, NED juga tercatat aktif dalam menawarkan beasiswa dan melakukan penelitian dan pertukaran internasional bagi para aktivis demokrasi, hak asasi manusia advokat, jurnalis, dosen dan peneliti.

NED Mesir terkenal sangat massif dalam menggelontorkan dana untuk memperkuat pemahaman pemuda parlemen Mesir dan meningkatkan penggunaan aktivis regional dengan berbagai teknologi baru sebagai alat akuntabilitas. Melalui lembaga kecilnya, Andalus Institute for Tolerance and Anti-Violence Studies (AITAS), mereka melakukan serangkaian lokakarya bagi 300 mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran terhadap fungsi parlemen dan melibatkan mereka dalam pemantauan komite parlemen. AITAS juga menjadi tuan rumah magang selama delapan bulan yang diperuntukan aktivis pemuda dari berbagai belahan Timur Tengah dan Afrika Utara. Para pemuda ini dirangsang mempromosikan Demokrasi Mesir dengan menggunakan teknologi berbasis web dalam melancarkan misi Amerika. Hal ini kemudian teretas dengan kucuran dana bagi para blogger di berbagai Negara muslim, khususnya Timur Tengah.

Sedangkan untuk meningkatkan kesadaran hukum di kalangan wartawan tentang kebebasan berekspresi di bawah hukum Mesir dan mendorong lebih besar peliputan media informasi isu-isu hak asasi manusia, NED Mesir melalui Arab Society for Human Rights (ASHR) tercatat banyak melakukan serangkaian lokakarya hukum media dan hak-hak profesional media. Kegiatan ini mensasar sekitar 80 jurnalis dari berbagai kalangan diantaranya governorates of Giza, Port Said, Sohag, Ismailiya, Al-Sharkiya, Kafr Al Syaikh, dan Marsa Matrouh.

Kenapa Amerika Ingin Menjatuhkan Sekutunya Sendiri?

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Amerika yang notabene selama ini mendukung rezim Mubarak justru ingin menjatuhkan kawannya sendiri? Lalu mengapa pula Amerika sangat keukeuh menjadikan Mesir sebagai basis kekuatan penting di wilayah Afrika dan dunia Islam pada khususnya? Ada beberapa hal yang bisa kita petakan melihat bagaimana peran Amerika Serikat dalam meredakan konflik di Mesir dan prosesi kelanjutan intervensinya.

Pertama, kepentingan ekonomi dan deideologi faksi-faksi Islam. Saat ditanya Associated Press apakah langkah-langkah yang diambil Presiden Hosni Mubarak sudah benar, Menlu AS Hillary Clinton menyatakan bahwa tidak penting saat ini siapa yang berkuasa di Mesir. Menurut istri Bill Clinton ini, yang lebih penting dibutuhkan saat ini adalah bagaimana tuntutan dan kebutuhan rakyat Mesir bisa dipenuhi dan menuju satu tahapan lebih baik. "Jelas, tahapan yang diikuti saat ini belum menciptakan masa depan yang demokratis, kesempatan ekonomi yang dituntut para pemrotes," ujarnya.

Pemerintah Amerika Serikat berharap transisi politik dengan memberi ruang bagi demokrasi di Mesir bisa berjalan mulus. Hal ini didasarkan pada gejolak di negara tersebut akan mengancam stabilitas di wilayah Timur Tengah yang tengah diupayakan terus oleh Presiden Barack Obama menjadi bagian dari demokratisasi Amerika. Kenapa Mesir yang dipilih tidak lain karena Negara di utara Afrika ini dinilai sebagai negara yang penting di Timur Tengah dimana ia berbatasan langsung dengan Palestina sekaligus pusat intelektual Islam di wilayah Timur Tengan. Dua domain inilah yang menjadi keladi bagaimana Amerika harus membiayai Mubarok selama ini agar jalannya penguasaan ekonomi dan deideologisasi Timur tengah berjalan sesuai harapan.

Kedua, Amerika memang benci dengan kekuasaan yang terlalu gemuk walau ia tidak mampu memungkiri bahwa diktatorisme memang tujuan dari segalanya. Kesenjangan sosial yang terjadi di Mesir akan membahayakan stabilitas misi mereka. Bagaimanapun landing-nya pesawat tidak boleh terganggu. Dan Amerika sudah tahu inilah batas kesabaran mereka melihat bonekanya tidak dapat memenuhi keinginan tuannya. Zaynur Ridwan, penulis beberapa novel zionisme memberikan alasan tentang mengapa Amerika sangat membenci pemerintahan yang korup? Tentu saja berbeda motif dengan apa yang kita pahami. Amerika beranggapan Korupsi akan memperkuat kekuatan Islam di akar rumput karena efek kesenjangan sosial, dan ini menurut Robert Heffner, peneliti Islam Amerika, akan membangkitkan semangat persaudaraan Islam yang akan berorientasi pada jihad global. Karena itu pemerintah yang korup harus dijatuhkan khususnya di daerah strategis Timur Tengah karena rencana demokratisasi Timur Tengah adalah salah satu program yang dijanjikan pemerintahan Obama saat berkampanye.

Ketiga, yang mesti menjadi perhatian kita adalah kita harus ingat bahwa Amerika akan terus bergerak di manapun level oposisi bermain. Amerika dan Paman-nya Israel akan selalu berupaya mendekati kekuatan baru. Pada intinya ini dilakukan agar disparitas kepentingan antara calon wayang dan calon dalang tidak terlalu jauh.Ini penting karena kekuasaan adalah gestur. Tidak ada kata musuh abadi.

Seperti diberitakan arabnews.com, bahwa Duta Besar Amerika Serikat untuk Mesir, Margaret Scobey, telah berbincang dengan Mohamed El Baradei. Baradei sendiri digadang-gadangkan akan menjadi sebuah kekuatan baru dalam menerima mandat Amerika Serikat selanjutnya setelah Hosni Mubarak akan turun dalam tempo tidak lama lagi. Padahal kita tahu sendiri bahwa El Baradei bukanlah nama baru dalam dunia perbonekaan Amerika Serikat. Ilmuwan berkepala plontos ini banyak bergelut dalam dunia energi di PBB.

Skenario Al Baradei dan Konstruk Zionis

Oleh karena itu kita harus jeli melihat perkembangan politik di Mesir. Kita sekarang sedang berhadapan dengan musuh dalam arti sebenarnya, dan bukan metafor. Kita berada dalam kotak pandora dimana media menyuguhkan bahwa tumbangnya Mesir adalah keniscayaan bagi perkembangan demokrasi di Negeri Nabi Musa ini. Kita sekarang sudah beralih dengan lebih sering memakai lema tuntutan rakyat ketimbang tuntunan Allah. Kita akhirnya terjebak pada keringat yang ingin segera kering lalu kemudian akan merubuhkan kembali istana pasir yang kita bangun dalam tempo satu-dua malam itu (baca: singkat). Artinya demokratisasi akan menjadi alternatif pasca keruntuhan rezim Mubarok

El Baradei, nama itu. Nama itu menjadi lengkap jika kita mengenalnya sebagai Mohamed El Baradei calon pengganti Hosni Mubarok (tanpa harus menyinggung keinginan Omar Sulaiman yang memiliki niat yang mutlak serupa). Menariknya nama El Baradei selama ini tidak begitu dikenal oleh warga Mesir sendiri. Time.com pada 20 Februari 2010 menulis warga Mesir tidak peduli dengan El Baradei. Mohamed Abbas (25), seorang sopir taksi di Mesir mengaku tidak kenal El Baradei. Bagi Abbas, El Baradei hanyalah seorang calon presiden seperti halnya Muhamad Gamal Mubarak, anak Hosni Mubarak dan Ketua Liga Arab Amr Musa. "Kebanyakan dari mereka, bagaimana pun, adalah penjahat," kata Mohamed Abbas.

Alhasil berbagai kalangan menyatakan bahwa Nama ini amat mungkin mencuat sebagaimana media-media Mesir, Eropa, dan Amerika mengkonstruk El Baradei sebagai Sang Penyelamat hanya karena ia mendapat sebuah nobel perdamaian dan berduyun-duyun bersama rakyat berteriak, “Kami anti Mubarak.”

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seorang El Baradei bisa muncul dengan legitimasi kepahlawanan yang begitu kuat. Baiklah kita faham ia memang anti Bush. Namun kita belum faham apakah ia juga anti syariat Islam. Apakah kita faham apakah ia anti jihad, mengingat “dasi dan bajunya” dibelikan oleh George Soros. Saya hanya ingin khawatir tidak lebih ketika melihat El Baradei menduduki posisi di International Crisis Group, sebuah lembaga think-thank perdamaian dunia (baca: versi humanisme) yang kental berafiliasi dengan George Soros. Lalu bagaimana mungkin seorang yang jelas-jelas tidak memiliki visi Islam yang kuat begitu disokong oleh organisasi muslim terbesar di Mesir. Mengingat selama aktivitasnya di ICG, El Baradei banyak berkecimpung dalam pereduksian ideologi Islam di Negara timur tengah.

Belajar dari Kematian Sayyid Quthb

Akhirnya penulis melihat bahwa transisi politik Mesir menuju demokrasi akan menciptakan Irak baru, Pakistan Baru, dan Afghanistan baru di Mesir. Kita memang setuju dan sangat mendukung jatuhnya Rezim Mubarak. Namun kita jangan sampai lupa bahwa kita berada pada fase yang bisa jadi membuat Mesir berubah menjadi lautan merah setelah Irak, Somalia, Afghanistan dan Sudan hancur bukan main.

Inilah yang terjadi ketika Presiden Gamal Abdul Nasser menjadi pemimpin baru setelah Rezim Raja Fuad tumbang. Sejarah ini tidak bisa kita lupakan bagaimana ribuan mujahid dibumihanguskan secara tidak berperikemanusaain. Mereka digantung dengan tuduhan tidak jelas. Padahal sebelum Rezim Fuad jatuh, ada janji manis dari sang calon pengganti tentang perkembangan Islam di Mesir oleh sang presiden.

Adalah Sayyid Quthb dan beberapa akttivis ikhwan yang amat baik telah memberikan pelajaran bagi kita bahwa stratergi kaum kufar mengahalangi tegaknya Islam adalah tantang dakwah tersendiri. Beberapa hari setelah revolusi itu Sayyid Quthb dipersilahkan untuk memberikan pidato di tengah masa. Sayyid Quthb dengan lantang berkata, “Sekarang revolusi betul-betul telah dimulai. Akan tetapi, kita tidak boleh menyanjung-nyanjungnya, sebab dia belum memberikan sesuatu yang berarti. Diturunkannya Raja Fuad bukanlah tujuan revolusi ini. Akan tetapi tujuannya adalah mengembalikkan negeri ini kepada Islam.”

Saat itu Gammal Abdul Nasser membalas, “Wahai Saudaraku Sayyid Quthb demi Allah mereka tidak akan bisa mengganggumu kecuali harus melewati mayat kami. Kami berikan janji kami dengan nama Allah. Bahkan kami ulangi janji kami, bahwa kami akan menjadi pembela-belamu hingga kahir hayat kami”.

Lalu apa yang terjadi setelah itu? Janji tinggal janji, Nasser yang begitu tergila-gila dengan sosialisme dan sangat takut pada penerapan Islam secara kaffah malah menuduh Sayyid Quthb akan membahayakan keamanan Mesir dan membunuh dirinya.

Sayyid Quthub kemudian diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April 1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya, Ma'alim fi ath-thariq, di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid Quthub bersama Abdul Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan dihukum mati. Ia dihukum gantung bersama 2 orang temannya pada 29 Agustus 1966. Pemerintah Mesir tidak menghiraukan protes dari Amnesti Internasional yang memandang proses peradilan militer terhadap Sayyid Quthub sama sekali bertentangan dengan rasa keadilan. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Syahid bagi kebangkitan Islam, yang rela mengorbankan nyawanya di tiang gantungan.

Pidato dan kisah kematian Sayyid Quthb di atas adalah sebuah otokritik dalam diri bahwa transisi politik dari sebuah rezim bukanlah kata akhir perjuangan. Transisi politik bisa berubah dalam meretaskan idiom bahwa kawan menjadi lawan, namun belum tentu sebaliknya. Tentu penulis bukan dalam kapasitas melunturkan semangat kita, bagaimanapun perjuangan terus kita lakukan. Tapi kita harus hati-hati untuk mengerti betul dalam menjawab satu pertanyaan saja, yakni siapakah yang akan berkuasa di Mesir setelah Mubarok jatuh, dan tak lama kemudian ideologi yang membuat Afghanistan, Pakistan, dan Sudan hancur (baca: demokrasi) naik?

"Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu. Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Muslim, No. 4822)

Allahua’lam.(www.eramuslim.com)

Monday, January 31, 2011

Nik Aziz dan Mahathir

Secara kebetulan saya sempat membaca posting Mahathir yang terbaru dalam blognya yang menulis tentang Nik Aziz dan Kuan Yew.Dalam tulisannya Mahathir menyindir Tok Guru yang dilihatnya lebih menyokong Kuan Yew berbanding musuh politiknya dalam negara yang terdiri daripada nasionalis melayu seperti beliau.

Oleh kerana sindirannya itu berkisar tentang isu Islam serta pemahamannya,saya jadi terpanggil untuk mengulas apa yang telah diperkatakan oleh Mahathir tentang Nik Aziz.

Mahathir kelihatannya agak gusar dengan kejayaan dan kesatuan yang telah ditunjukan oleh Pakatan Rakyat yang mana dilihatnya telah berjaya kerana disebabkan oleh sokongan Nik Aziz kepada Anwar dalam membentuk Pakatan Rakyat sekaligus disifatkannya sebagai memecahbelahkan Melayu Islam di Malaysia.

Mahathir dari dahulu amat konsisten dengan hujahnya mengatakan Nik Aziz sebagai simbol perpecahan Melayu dengan gabungan bersama Semangat 46 dan kini PKR serta DAP dalam Pakatan Rakyat.Sedangkan Beliau seharusnya duduk menginsafi akan kesalahan sendiri yang menjadi punca kepada semua perpecahan itu..bermula dari Semangat 46 hinggalah penubuhan PKR yang kini dilihat amat mencabar kedudukan UMNO dalam saingan politik negara.

Kuan Yew sudah semestinya lebih baik dari anda kerana beliau bukan orang Islam yang sama sekali tidak pernah meletakkan perjuangan hidupnya untuk membela mereka,beliau hanya mengharapkan kemajuan mereka dari sudut kemanusiaan.Tetapi amatlah jengkel jika kenyataan yang sama keluar dari mulut orang Islam yang berlindung di sebalik perjuangan Nasionalis melayu seperti anda dan rakan2 UMNO.

Apabila anda mengaku sebagai muslim anda haruslah lebih peka dalam memperjuangkan isu Islam bukan hanya sekadar urusan pergi haji,bank dan takaful sebagaimana dakwaan anda itu,anda hanya berusaha terhadap sesuatu yang lebih membawa kepada keuntungan dan materialistik berbanding berusaha untuk memelihara sistem nilai dan keagamaan di kalangan rakyat jelata,sistem sosial,pendidikan,perundangan dan sebagainya.

Apabila dikritik,anda akan cuba mengalih pandangan kepada isu lain dan cuba memberi pelbagai alasan yang seakan memperlekeh sistem Islam yang anda sendiri anuti.Adakah itu yang anda gambarkan sebagai lebih baik berbanding Kuan Yew yang tidak tahu apa2 tentang Islam..?

kebijaksanaan anda 'terlondeh' di situ jika gagal melihat dengan akal yang waras akan sesuatu yang bernama 'kebenaran'..

2,200 Arab Scholars, Politicians, and Activists Issue Appeal for Human Rights and Democracy in the Arab World

post info
By Anwar Ibrahim


PRESS RELEASE
Jan. 27, 2011

Washington – January 27, 2011 – In the Aftermath of the Tunisian revolution, and the beginning of a popular uprising in Egypt, more than 2,200 Arab scholars, politicians, and activists – from over 20 Arab countries – issued today an “URGENT APPEAL” for the defense and consolidation of human rights and democracy in the Arab World.

“The Casablanca Call has been endorsed by leading thinkers and politicians from the Arab World, from all political leanings and persuasions, from the leftists and secularists to moderate Islamists and the Muslim Brotherhood, agreeing that democracy and human rights are an “absolute necessity” for the Arab world today”, sais Radwan Masmoudi, President of the Center for the Study of Islam and Democracy (CSID), and convener of the Casablanca Conference on Human Rights and Democracy.

“The Tunisian revolution has shattered several myths: the myth of Middle Eastern democratic exceptionalism, the myth of achieving economic reform without political liberalization, and the myth that western backing of autocratic regimes in the region will maintain stability and protect western strategic interests”, said Emad El-Din Shahin, Professor of Religion, Conflict and Peacebuilding at the University of Notre Dame, and one of the drafters of the Casablanca Call.

Included below is the text of the Casablanca Call:

The Casablanca Call for Democracy and Human Rights

We, the signatories to this call, as politicians, intellectuals and civil society advocates, believe that the achievement of democracy and the embodiment of human rights in the Arab world is an absolute necessity and requires a broader engagement of all citizens and political and social forces. We observe, with great concern, the dramatic and alarming backsliding of political reforms in the Arab world, due to several structural obstacles since the beginning of the new century. We hereby appeal to all parties concerned with the future of democracy – governments, civil society institutions, political organizations, trade unions, and the media – in the belief that the achievement of real and effective reforms is the responsibility of all parties.

We affirm that confronting the various obstacles that continue to prevent the achievement of a peaceful transfer of power requires the following:

1- An immediate undertaking of profound and effective political reforms that respect the rule of law and institutional integrity based on the principle of separation of powers. This must be done in accordance with the principle of peoples’ sovereignty, respect for human rights and freedoms, and by confirming the ballot box as the only legitimate method of achieving a peaceful transfer of power, and ensuring the transparency of the electoral process, accepting its results, and enhancing the efforts of independent monitors in accordance with international standards;

2- Protection of an independent judiciary as a top priority for democratic change, as a prerequisite for the protection of human rights and freedoms, and as the guarantor for the supremacy of the rule of law and state institutions;

3- The immediate release of all political prisoners – numbering in the thousands in various Arab prisons – and putting an end to political trials of any kind, torture of political opponents, and the practice of kidnapping;

4- Enabling and encouraging political parties and trade unions to engage in their right to organize freely, use all available media outlets, take advantage of public funding, and be free of any interference of the state apparatus in their affairs;

5- Acknowledgment of the right of civil society organizations to perform their advocacy roles freely and effectively, having their independence and privacy duly respected, their internal affairs not disrupted, and their sources of financial support kept open and active. We call upon all Arab governments to engage with civil society organizations in real a partnerships to achieve sustainable human development and to empower women and youth to take part in the development process;

6- Guarantee of freedom of expression, free access of the media and journalists to information and news sources. The respect for the independence of journalists’ syndicates and allowing them to disseminate information and opinion without censorship, and undue administrative, or judicial pressures, and the abolishment of the imprisonment penalty in cases against journalists;

7- Development of mechanisms to ensure the neutrality of state institutions and their placement in the direct service of their constituents regardless of political allegiances, and without interference in the affairs of political parties and civil society organizations;

8- Mobilization of all forces and efforts to comply with good governance, political integrity and transparency, and combating corruption as an unethical social, political, and economic phenomenon that has turned administrative corruption into a system for administering corruption. We believe this undermines development efforts, drains national resources, and threatens social peace;

9- Summoning of the private sector to play its role in the contribution to political reforms, the preservation of freedoms and to strive for social justice, affirming the strong link between development and democracy, and ensuring transparency and free and fair competition;

10- Supporting efforts to achieve national reconciliation and unity and avoid the dangers that threaten unity, and feed the sectarian, religious, ethnic, and political conflicts that destabilize Arab states and societies;

11- Appealing to democratic forces in the entire world to put pressure on their own governments to refrain from supporting non-democratic regimes in the Arab world, and from adopting double standards in their relations with Arab regimes;

12- Reaffirmation of the interconnectedness of political reform with the renewal of religious thought, which requires support for, and expansion of, the practice of ijtihad in a climate of complete freedom of thought, under democratic systems of government. Furthermore, we support the dialogue that began several years ago between Islamists and secularists at the local and regional levels and emphasize the importance of continuing such endeavors in order to provide solid ground for the protection of democracy and human rights from any political or ideological setbacks.

Akankah Tunisia Menjadi Keping Domino yang Pertama?

Dari Blog Jalan Telawi
Oleh Anwar Ibrahim

Awal bulan ini, warga Tunisia telah berjaya menyingkirkan presiden mereka menerusi satu revolusi popular yang pertama dalam sejarah moden negara-negara Arab. Kepantasan revolusi ini merebak semestinya memberikan isyarat jelas kepada negara-negara Muslim lain yang masih lagi tegar mempertahankan kerajaan otokratik dan diktator.

Jangka hayat panjang rejim sebegini dijamin menerusi keupayaannya dalam menekan suara-suara bantahan dengan jentera-jentera kerajaan yang dikawal, terutamanya institusi ketenteraan. Apa yang berlaku di Tunisia menzahirkan bahawa bila mana salah satu jentera kerajaan tidak berfungsi – seperti yang berlaku kepada pihak tentera ketika mereka gagal bergerak secara efektif – jentera-jentera lain seperti media dan kehakiman akan turut gagal berfungsi.

Apakah ini merupakan detik seperti runtuhnya Tembok Berlin bagi warga Timur Tengah? Apakah negara-negara Arab lain yang mengguna pakai modus operandi yang sama dalam amalan penindasan politik bakal ditumbangkan juga?

Pada tahun 2005, dalam satu ucapan di Forum Dunia Amerika Syarikat (AS) – Islam di Doha, saya mengungkapkan bahawa pendemokrasian bakal muncul di Timur Tengah jauh lebih awal dari yang diramalkan, dan saya mengkritik dasar luar AS dengan menyifatkannya sebagai “dasar talam dua muka.” Ketika pentadbiran Bush mendukung kebebasan dalam melancarkan perang melawan keganasan, AS tetap teguh bersekutu dengan negara-negara yang secara terang-terangan mengamalkan dasar penindasan untuk mengekang masyarakat awam dan menggagalkan demokrasi.

Di bawah pentadbiran Obama, dasar talam dua muka ini masih lagi wujud. Walaupun dalam ucapan bersejarahnya di Kaherah di mana beliau secara khusus memuji wakil kerajaan, pentadbiran Rumah Putih masih terus bekerjasama dengan pelbagai otokrat dari Timur Tengah. Dari perspektif para demokrat di rantau itu, dasar talam dua muka AS ini adalah disebabkan pendemokrasian akan mengakibatkan wujudnya kerajaan yang kurang cenderung menyokong agenda dan tuntutan AS terutamanya pentadbiran yang disifatkan Islamik oleh AS.

Merujuk kepada Tunisia, adalah mustahil Zine el Abidine Ben Ali mampu kekal menerajui negara selama 25 tahun tanpa dukungan dari Amerika. Kenyataan bahawa rejim kleptokratik pimpinan beliau akhirnya tumbang merupakan peringatan keras bahawa sesebuah kerajaan yang ditegakkan melalui penindasan ke atas rakyat takkan bertahan lama. Kita telah menyaksikannya di Iran pada tahun 1979 menerusi kejatuhan dramatik Shah, dan juga pada tahun 1998 ketika rakyat Indonesia mengecap nikmat demokrasi secara aman setelah hampir tiga dekad ditadbir di bawah kepimpinan tentera.

Masalah yang menghantui dunia Arab tetap mengejutkan: monopoli kekayaan dan kuasa oleh segelintir elit politik, kemerosotan infrastruktur, sistem pendidikan yang jumud, kepincangan dalam perkhidmatan kesihatan serta bebanan pendapatan dalam menghadapi kenaikan harga barang dan kos hidup. Rasuah dan nepotisme menjadi raja di sebalik tiadanya kebertanggungjawaban dan ketelusan.

Sememangnya semua ciri tersebut merupakan acuan terbaik sebuah pergolakan politik: peminggiran politik dan ekonomi ke atas rakyat serta perompakan kekayaan negara oleh elit pemerintah. Ianya merupakan satu realiti yang tidak dapat disucikan oleh propaganda – kerana rakyat boleh menyaksikannya di YouTube dan Facebook – walaupun dicuba dengan pelbagai kaedah oleh pemerintah. Pastinya, tiada seorang pun pemimpin Arab yang akan mengakui kebejatan ini, sebaliknya akan menzahirkan kewarakan dan menabur janji untuk terus memperbaiki tahap ekonomi rakyat.

Adalah sesuatu yang bodoh bagi kerajaan di rantau itu sekiranya menganggap bahawa apa yang berlaku di Tunisia ini sebagai kes terpencil. Permasalahan ekonomi dan politik yang mencetuskan revolusi merupakan sesuatu yang luar biasa terhadap negara tersebut. Seseorang hanya perlu berjalan di sepanjang kaki lima di Kaherah dan Karachi, atau merayau-rayau di pekan-pekan terpencil di Algeria dan Afghanistan untuk melihat bagaimana sengsaranya kemiskinan dan penindasan sehingga mampu memusnahkan martabat diri seseorang.

Pemerintah otokratik yang telah terbiasa dengan kedaulatan mutlak barangkali akan mengubah fikiran mereka. Kebangkitan di Tunisia didorong oleh hasrat untuk mencapai kebebasan dan keadilan, dan bukan kerana ideologi tertentu. Faktor keganasan Islam, yang sering dijadikan kambing hitam oleh para diktator di Timur Tengah untuk menghalalkan kezaliman mereka, perlu dipertimbangkan semula atau dibakulsampahkan terus. AS juga harus mengambil pengajaran tentang mitos bahawa diktator yang sekular merupakan taruhan terbaik dalam melawan golongan Islamis. Revolusi, sama ada yang bersifat sekular atau keagamaan lahir dari keinginan sejagat untuk memartabatkan hak. Persamaan di antara revolusi di Iran dan pergolakan di Tunisia adalah kebangkitan rakyat yang telah sekian lama menderita di bawah pemerintahan yang menindas.

Apakah revolusi di Tunisia ini mampu menjana kebangkitan warga Arab dan mengubahnya kepada pembebasan Timur Tengah? Tatkala Tunisia bergerak ke dalam kelompok negara-negara Timur Tengah yang memartabatkan demokrasi seiring dengan negara seperti Turki, namun untuk kebanyakan negara Islam lain, demokrasi masih lagi merupakan sesuatu yang sukar dikecap. Pakatan pembangkang di negara-negara seperti Mesir kini sudah menemui harapan baru menerusi perkembangan yang berlaku di Tunisia. Bantahan-bantahan di Kaherah dan di wilayah-wilayah sekitarnya telah mengubah tanggapan yang selama ini menganggap bahawa bangsa Arab dan umat Islam bersifat pasif dalam politik dan senantiasa cenderung terhadap otoritarianisme. Namun, apakah mereka akan diberi peluang yang adil? Rakyat Palestin pernah memilih pemimpin mereka menerusi pilihan raya namun kuasa Barat telah campurtangan dan mengubah peraturan pilihan raya tersebut.

Kenyataan asasnya adalah jelas iaitu AS mesti menghentikan sokongan terhadap pemimpin-pemimpin diktator dan kuku besi sama ada di Timur Tengah, Pakistan atau di Asia Tenggara. Apa yang berlaku di Tunisia sewajarnya diamati sebagai fajar baru bagi demokrasi di dunia Arab dan Islam.

*Diterjemahkan oleh Najwan Halimi dari artikel berjudul “Will Tunisia Be the First Domino?” tulisan Anwar Ibrahim yang diterbitkan di laman The Wall Street Journal pada 26 Januari 2011*

Tuesday, January 04, 2011

Ada broker yang ghairah nak jual PAS..?

Barangkali itulah antara kesan kapitalisme yang sedang melanda dunia hari ini termasuk Malaysia malah pemimpin gerakan Islam yang cuba mengambil kesempatan atas kedudukan yang mereka miliki untuk mengaut keuntungan...?

Mereka menyedari betapa PAS begitu bernilai ketika ini sebagaimana 'cicak tokek' juga pada satu ketika dahulu..justeru mereka mengusahakan perkara tersebut sehingga ianya boleh membuahkan hasil,sekiranya gagal dalam plan A mereka akan tidak berputus asa dengan plan B pula barangkali..

Siapakah broker yang bijak mengambil kesempatan itu..?mereka sudah tentu mempunyai minda korporat tahap tinggi hingga tergamak mengusahakan sesuatu projek yang melibatkan ramai pihak malah ideologi juga.

Sesungguhnya fitnah akan sentiasa melanda umat ini hingga mereka dimasukan ke dalam liang lahad..ianya menuntut hikmah yang tinggi di kalangan pejuang agar berjaya melaluinya dengan tabah dan tenang..

Isu Kerajaan Perpaduan bertiup kembali..

Setelah sekian lama menyepi, kini isu yang boleh menggegarkan perpaduan antara ahli PAS telah mula timbul kembali.Berita tersebut mula menjadi perhatian setelah Pengarah pilihanraya negeri Abd Fatah Harun membuat lontaran tentang isu itu di dalam laman sosial facebook miliknya.

Seperti biasa ramai juga yang tampil mempertikaikannya dengan label sebagai fitnah kepada pemimpin yang telah dipilih ahli sebagaimana dulu.Ada yang mengatakan bahawa isu itu sengaja dikeluarkan sempena pemilihan parti yang akan diadakan pada tahun ini malah ada juga yang membuat tafsiran bahawa mereka yang terlibat sengaja berlindung disebalik kesalahan mereka dengan menghubungkan isu kerajaan perpaduan dengan isu pemilihan.

'Moral off the story'nya ialah memang sering kedapatan dua pihak di dalam PAS yang tidak begitu selari pemikiran mereka.Saya merasa amat sedih dengan keadaan ini yang mana ianya akan menggambarkan perjuangan itu berada dalam keadaan yang serba tak kena dan agak gawat.

Fitnah sememangnya sering melanda umat Islam sejak zaman sahabat lagi,tetapi bagaimana ianya mampu ditangani oleh mereka yang mengambil bahagian sahaja yang akan membezakannya.

Dalam keadaan PAS dewasa ini siapa yang dipertangungjawabkan untuk mereda atau meyelesaikan masalah,kelihatan Tuan Presiden tidak begitu tajam dalam membuat tindakan hingga membiarkan isu ini berlarutan dalam tempoh masa yang agak panjang.

Pemimpin yang kurang efektif akan mencorakkan organisasi yang sedang dipimpin olehnya..Siapa yang lebih peduli..?